PEMBERONTAKAN PPKI DI INDONESIA PADA TAHUN 1948
TUGAS
SEJARAH
|
PEMBERONTAKAN PPKI DI INDONESIA
|
OLEH:
ANDRIANTO STEFANUS GELI
|
![]() |
1. Peristiwa Madiun/PKI dan Cara
yang Dilakukan Pemerintah dalam Penanggulangannya
Pemberontakan ini terjadi pada tahun
1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang
berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di
Indonesia. Pemimpin pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan
Musso. Amir Syarifudin adalah mantan Perdana Menteri dan menandatangani Perjanjian
Renville. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di
Madiun. Sedangkan Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926. Setelah gagal
ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung
dengan Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintah
di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini
didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali
melakukan aksi-aksinya antara lain:
1. melancarkan propaganda anti pemerintah,
2. mengadakan pemogokan-pemogokan kerja
bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
3. melakukan pembunuhan-pembunuhan
misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli 1948, Komandan Divisi
LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September
1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi pengacauan di Solo yang
dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya pada tanggal 18
September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya seperti Blora,
Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi, Ponorogo, dan Trenggalek. PKI mengumumkan
berdirinya “Soviet Republik Indonesia.” Setelah menguasai Madiun para
pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran. Pejabat-pejabat
pemerintah, para perwira TNI dan polisi, pemimpin-pemimpin partai, para ulama,
dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang menjadi korban keganasan PKI.
Pemberontakan PKI di Madiun ini
bertujuan meruntuhkan pemerintah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945
yang akan diganti dengan pemerintahan yang berdasar paham komunis. Kekejaman
PKI ketika melakukan pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 tersebut
mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu pemerintah bersama rakyat
segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak. Dalam usaha
mengatasi keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur
Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang meliputi Semarang, Pati,
dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada Kolonel
Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar
mengerahkan kekuatan kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak.
Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit maka pimpinan operasi
penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar
Komando Jawa (MBKD). Walaupun dalam operasi penumpasan PKI Madiun ini
menghadapi kesulitan karena sebagian besar pasukan TNI menjaga garis demarkasi
menghadapi Belanda, dengan menggunakan dua brigade kesatuan cadangan umum
Divisi III Siliwangi dan brigade Surachmad dari Jawa Timur serta
kesatuan-kesatuan lainnya yang setia kepada negara Indonesia maka pemberontak
dapat ditumpas. Pada tanggal 30 September 1948 seluruh kota Madiun dapat
direbut kembali oleh TNI. Musso yang melarikan diri ke luar kota dapat dikejar
dan ditembak TNI. Sedangkan Amir Syarifuddin tertangkap di hutan Ngrambe,
Grobogan, daerah Puwadadi dan dihukum mati. Akhirnya pemberontakan PKI di
Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan melemahkan kekuatan
pertahanan RI.
2. Peristiwa DI/TII dan Cara yang
Dilakukan Oleh Pemerintah dalam Penanggulangannya
1.
Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu
desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul
Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan
ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang
berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan
dalam Perundingan Renville. Usaha untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini
memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
(1) medannya berupa daerah
pegunungan-pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk
bergerilya,
(2) pasukan Kartosuwiryo dapat bergerak
dengan leluasa di kalangan rakyat,
(3) pasukan DI /TII mendapat bantuan
dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik-pemilik perkebunan dan para
pendukung negara Pasundan,
(4) suasana politik yang tidak stabil
dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha-usaha
pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi
DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini. Pada
tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis” dan
operasi “Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni 1962 SM. Kartosuwiryo beserta para
pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “Bratayudha”
di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh
Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/ TII di
Jawa Barat dapat dipadamkan.
2.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di
Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi
oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah
yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul
Rachman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari
1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara”
(GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M.
Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan
pasukan “Banteng Raiders.” Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan
yang merupakan bagian dari DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam
(AUI)” yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai
“Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan
waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di
daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung
dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini
pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon
pemberontak terrsebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya melarikan diri ke
Jawa Barat dan ke daerah GBN.
3.
Pemberontakan DI/TII di Aceh
Gerombolan DI/ TII juga melakukan
pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab
timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena
status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan
di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh
yang waktu itu menjabat sebagai gubernur militer menyatakan bahwa Aceh
merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM.
Kartosuwiryo. Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula
pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M.
Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember
1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan
tokohtokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat
dipadamkan.
4.
Pemberontakan DI / TII di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan juga timbul
pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April
1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung
dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS
(APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
Pemerintah melakukan pendekatan
kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada
tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke
hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk
menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan
operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap
dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
5.
Pemberontakan DI /TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga
melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pospos kesatuan TNI.
Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan
pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan
diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah
menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya
pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar
beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.
3. Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial,
dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun 1959,
ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan
sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena
antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta
antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut
pengaruh atau mendominasi. Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi
ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi nasional.
Prinsip Nasakom yang diterapkan
waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk
memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan
sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti
kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI
banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah
sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual,
dan para perwira ABRI.
4. Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara
Penumpasannya
Tantangan yang dihadapi NKRI ketika
Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional
merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip Nasakom yang
dilaksanakan pada waktu itu memberi kesempatan kepada PKI dan organisasi
pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi yang memprihatinkan
serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an
maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan. Sebelum
melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan
yang luas di antaranya sebagai berikut.
- PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.
- PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.
- Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.
Puncak ketegangan politik terjadi
secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1
Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira
Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan
dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan
dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Dalam peristiwa tersebut Jenderal
Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala
Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri
beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu
Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga tewas dalam peristiwa
tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil
Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa
pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya
dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel
Sugiyono. Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “
telah menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di
Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka
Selatan. Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15
disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa
gerakan ditujukan kepada jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat
menjadi bingung.
Menghadapi situasi politik yang
panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan
segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan
meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor
Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD)
mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai
Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat.
Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo,
panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30
September. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi
untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00. Dalam
sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan. Selanjutnya Mayor
Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan lewat
RRI yang isinya sebagai berikut.
(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.
(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.
(2) Menjelang sore hari pada tanggal 2
Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil
menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk
daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan
Gerakan 30 September.
(3) Dalam operasi pembersihan di kampung
Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang anggota polisi,
Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para
perwira Angkatan Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI
tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.
Ketika gerakan 30 September ini
menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan
bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September
termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri. Dengan demikian
masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang sebenarnya
melakukan pengkhianatan terhadap negara ini.
a. Pemebrontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA )
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada dasarnya merupakan
ikhtiar Belanda untuk tetap mempertahankan kedudukan sebagai penjajah di
Indonesia. Pemimpin APRA adalah seorang kapten Belanda yang dulu diterjunkan
tentara sekutu di Medan pada tahun 1945, yaitu Westerling. Para anggotanya
adalah KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) yaitu tentara Belanda yang
berasal dari orang-orang pribumi dan KL (Koninklijk Leger).
Bekas anggota
KNIL dan KL banyak yang menjadi anggota gerombolan APRA karena mereka enggan
untuk bergabung dalam APRIS. Mereka beranggapan, apabila digabungkan dalam
APRIS, mereka akan menjadi tentara nomer dua atau “ dianak tirikan” oleh
pemerintah RIS.
Dengan memanfaatkan situasi ini, Kapten Westerling membentuk sebuah
gerombolan yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tujuan utama
gerakan APRA adalah mempertahankan bentuk federal di Indonesia serta mempertahankan
adanya tentara tersendiri di dalam Negara federal (Negara bagian itu).
Aksi pertama
yang dijalankan APRA adalah menyerbu kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950
dan menduduki Markas Staf Kwartir Divisi Siliwangi. Karena serangan yang begitu
tiba-tiba ini , pasukan TNI Siliwangi kelabakan. Salah satu perwira TNI
Siliwangi, Letnan Kolonel Lembong gugur dalam pertempuran ini.
Untuk membebaskan kota Bandung, Markas besar APRI di Jakarta segera
mengirimkan bantuannya. Di samping itu , dilakukan perundingan antara Perdana
Menteri RIS Moh.Hatta dan para komisaris tinggi Belanda untuk menghentikan aksi
APRA tersebut. Mayor Jendral Engels mendesak Westerling untuik meninggalkan
kota Bandung.
Setelah
aksinya di Bandung cukup berhasil, pasukan APRA merencanakan menyerang kota
Jakarta dan membunuh menteri-menteri RIS, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Mr.Ali Budiarjo dan Kolonel TB. Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950. APRA
berkerjasama dengan seorang menteri yang bernama Sultan Hamid II.
Hal itu
ternyata sudah diketahui terlebih dahulu oleh pasukan TNI yang berada di
Jakarta. Karena kesiapan para pasukan TNI tersebut maka banyak anggota APRA
yang terbunuh dan melarikan diri.
Mengetahui hal tersebut, Westerling pun segera melarikan diri ke Singapura
dengan menumpnag pesawat Catalina milik angkatan laut Belanda. Namun,
sesampainya di Singapura Westerling di tangkap oleh polisi Singapura dengan
alas an masuk ke Negara orang lain tanpa izin. Pemerintah RIS meminta
pemerintah Inggris yang berkuasa di Singapura untuk menyerahkan Westerling pada
RIS, tetapi pemerintah Inggris menolak karena sebelumnya Indonesia belum
melakukan perjanjian ekstradisi dengan Inggris. Demikian pula dengan Sultan
Hamid II, pada tanggal 5 April 1950 ia ditangkap oleh TNI. Dengan itu
gerakn APRA pun berakhir.
2. Pemberontakan
Andi Aziz
Di Makasar terjadi masalah seperti di
Bandung, bekas KNIL menolak pasukan APRIS dan menghalangi datangnya TNI ke
Makassar yang dipimpin oleh Kapten Andi Aziz yang merupakan perwira KNIL yang
baru diterima ke dalam APRIS. Pada atanggal 30 Maret ia bersama dengan pasukan
KNIl yang lain menggabungkan diri ke dalam APRIS dihadapan Letkol A.J
Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Pada waktu itu
keadaan Makasar tidak tenang karena rakyat yg anti federal mengadakan
demonstrasi sebagai desakan agar NIT secepatnya bergabung dengan RI. Sedangkan sebagian dari mereka setuju
dengan system federal juga mengadakan demonstrasi, sehingga ketegangan mulai
bertambah.
Pada tanggal 5 April 1950 terdengar berita bahwa pemerintah RIS mengirimkan
900 pasukan APRIS dari TNI ke Makasar untuk menjaga keamanan. Kesatuan ini
dipimpin oleh Mayor Worang diangkut dengan 2 buah kapal dan sudah berlabuh di
luar pelabuhan Makasar. Berita ini mengkhawatirkan bekas anggota KNIL yang
takut terdesak oleh pasukan baru, mereka menamakan dir pasukan Bebas dan
dipimpin oleh Andi Aziz. Pada jam 5 pagi Andi Aziz dan pasukannya menyerang
markas TNI di Makasar. Dalam waktu singkat kota Makasar berhasil dikuasai oleh
gerombolan penyerbu karena kurangnya asukan dari TNI. Beberapa orang TNI
ditawan dan Kolonel A.J Mokoginta ditawan.
Pada tanggal 5 April Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri
karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz. Pemerintah kemudian dipegang
oleh kabinet baru yang pro RI dibawah pimpinan Mr. Putuhena dan pada tanggal 21
April, Sukawati wakil dari negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia melebur ke
dalam negara kesatuan RI bila RI juga melaksanakan tindakan yang sama. Selain
itu pemerintah RIS mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April yang
menginstruksikan agar Andi Aziz dalam waktu 4x24 jam atang melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menyerahkan
senjata-senjata dan juga tawanannya.
Andi Aziz terlambat melaporkan diri ke Jakarta dan karenanya ditangkap
sebagai penberontak dan diadili.
Pada waktu
yang bersamaan dikirimkan sebuah pasukan ekspedisi ke Sulawesi dibawah pimpinan
Kolonel Kawilarang. Pasukan Worang kemudian mulai bergerak ke arah Makasar dan
pada tanggal 21 April berhasil memasuki Makasar tanpa perlawanan dari pasukan
pemberontak. Andi Aziz sendiri pada tanggal 15 April telah beangkat ke Jakarta
setelah didesak oleh Presiden NIT Sukowati.
Pada tanggal
26 April pasukan ekspedisi di bawah Kolonel Kawilarang sampai di Sulawesi
Selatan. Bentrokan senjata masih terjadi dan pada tanggal 8 Agustus pihak
KL-KNIL minta berunding dan perundingan diadakan antara Jendral Scheffelar dari
KL-KNIL dengan Kolonel Kawilarang. Hasil dari perundingan ini adalah bahwa kedua
belah pihak setuju dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari
pasukan KL-KNIL akan meninggalkan Makasar.
c. Republik Maluku Selatan (RMS)
Di Maluku banyak anggota KNIL. Mereka juga
tidak mau dimasukkan ke dalam APRIS. Keresahan KNIL itu dipergunakan oleh
tokoh- tokoh pro Belanda, seperti Manusama. Ia mengemukakan gagasan supaya
Maluku terpisah dari RIS dan menjadi Negara Merdeka, yang diberi nama Republik
Maluku Selatan. Pada bulan April 1950 diproklamasikan berdirinya Republik
Maluku Selatan. Mr.Dr. Christian Robert Steven Saumokil bekas Jaksa Agung NIT
dipilih menjadi presiden RMS. Saumokil sebenarnya sudah terlibat dalam
peristiwa Andi Aziz di Makassar, tetapi karena Andi Aziz mengalami kegagalan
maka Saumokil mengalihkan usahanya ke Maluku Selatan.
Pada waktu keadaan di Ambon sedang kacau
karena banyak anggota KNIL yang bergabung dengan TNI, hal tersebut tidak
disukai oleh Belanda karena RI akan menjadi lebih kuat. Untuk mencegah hal
tersebut maka Belanda mulai menghasut dan menyebarkan desas- desus yang buruk
tentang TNI dan RI. Keadaan ini sangat menguntungkan Saumokil dan pada tanggal
25 April 1950 dia memproklamasikan berdirinya “Republik Maluku Selatan”.
Pemerintah RIS berusaha mengatasi masalah
tersebut dengan cara damai yaitu dengan mengirimkan dr. Leimena. Tetapi missi
damai tersebut ditolak oleh Saumokil bahkan mereka meminta bantuan, perhatian
dan pengakuan dari luar terutama dari Amerika Serikat, Belanda dan juga Dewan
PBB. Karena itu maka pemerintah RIS terpaksa menumpas petualangan Saumokil
dengan kekuatan senjata.
Pada tanggal 14 Juli pasukan ekspedisi
APRIS dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang mendarat dan dapat merebut pos-pos
penting di pulau Buru. Pendaratan dilakukan di pulau Seram Barat pada tanggal
19 Juli 1950 dan dengan mudah Seram Barat dapat dikuasai oleh APRIS/TNI. RMS
berupaya memusatkan kekuatan dan kekuasaannya di pulau Seram dan Ambon.
Operasi pasukan APRIS/TNI mengalamikesulitan
sehingga pada bulan Desember 1950 Seram dan Ambon dapat dikuasai. Dan ketika
RIS pada tanggal 17 Agustus 1950 dilebur dan menjadi Negara kesatuan RI, RMS
belum bisa ditumpas seluruhnya. Salah satu tokoh dari TNI yaitu Letnan Kolonel
Slamet Riyadigugur dalam pertempuran sewaktu menyrang benteng Victoria di
Ambon. Operasi APRIS dilakukan dari pulau ke pulau dan menghancurkan pasukan
RMS. Serdadu-serdadu RMS melarikan diri ke hutan – hutan dan pada bulan
Desember 1963 Maluku dapat diamankan kembali setelah Dr. Saumokil tertangkap.
d. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)
Gerakan ini muncul di tengah keadaan politik yang
sedang tidak stabil dalam pemerintahan. Hubungan yang tidak mesra antara
pemerintah pusat dengan beberapa daerah menjadi salah satu pemicu timbulnya
gerakan ini. Keadaan itu disebabkan oleh ketidakpuasan beberapa daerah di
Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat.
Dan rasa tidak puas tersebut didukung oleh beberapa panglima besar TNI. Beberapa
panglima militer membantu dewan-dewan daerah seperti :
1. Dewan
Banteng di Sumatra Barat yang dibentuk oleh Letkol Ahmad Husein, 20 Desember
1956
2. Dewan
Gajah di Medan yang dibentuk oleh Kolonel Simbolon, 22 Desember 1956
3. Dewan
Garuda di Sumatra Selatan
4. Dewan
Manguni di Manado yang dibentuk oleh Letkol Ventje Sumual, 18 Februari 1957
Dan gerakan tersebut
akhirnya berkembang menjadi suatu gerakan terbuka yang terkenal sebagai gerakan
PRRI/Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein mengeluarkan
ultimatum kepada pemerintah pusat yang menyatakan bahwa kabinet Djuanda harus
mengundurkan diri dalam waktu 5x24 jam. Menerima ultimatum tersebut pemerintah
bertindak tegas dengan memberhentikan secara tidak hormat Ahmad Huesin,
Mauludin Simbolon, Zulkifli Lubis dan Dahlan Djambak dari kedudukannya sebagai
perwira TNI.
Pada tanggal 12 Februari
1958 A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Komando Daerah Militer
Sumatra Tengah. Dan pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamasikan
berdirinya PRRI di Padang dan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana
mentrinya. Pemerintah melancarkan operasi militer gabungan yang dinamakan
Operasi 17 Agustus, operasi ini bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan
negara, menghancurkan gerakan separatis, mencegah meluasnya gerakan tersebut
dan untuk mencegah ikut campurnya kekuatan- kekuatan asing.
Angkatan Perang Republik
Indonesia(APRI) pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk melindungi dan
mengamankan sumber-sumber minyak yang ada. Dan operasi ini dikembangkan ke
pusat pemberontak di Bukittinggi. Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal
15 Februari 1958 mendapat sambutan dari Indonesia Timur. Dalam rapat raksasa
yang digelar di beberapa tempat di daerah Komanado Daerah Militer Sulawesi
Utara dan Tengah, Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa pada tanggal
17 Februari 1958 daerah tersebut memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat
serta mendukung PRRI.
Untuk menghadapi kekuatan
Permesta, pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan April 1958.
Ternyata gerakan Permestamendapat bantuan dari pihak asing. Terbukti dengan tertembak
jatuhnya pesawat asing yang dikemudikan oleh A.L Pope seorang warga negara
Amerika Serikat pada tanggal 18 Mei 1958 di Ambon. Dan gerakan Permesta baru
dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958 dan sisa-siasanya dapta dittumpas
secara keseluruhan tahun 1961.
Komentar
Posting Komentar