PEMBERONTAKAN PPKI DI INDONESIA PADA TAHUN 1948



TUGAS SEJARAH
PEMBERONTAKAN PPKI DI INDONESIA
OLEH:
ANDRIANTO STEFANUS GELI





 

1. Peristiwa Madiun/PKI dan Cara yang Dilakukan Pemerintah dalam Penanggulangannya
Pemberontakan ini terjadi pada tahun 1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pemimpin pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifudin adalah mantan Perdana Menteri dan menandatangani Perjanjian Renville. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun. Sedangkan Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926. Setelah gagal ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintah di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain:

1.      melancarkan propaganda anti pemerintah,
2.      mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu Klaten.
3.      melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli 1948, Komandan Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi pengacauan di Solo yang dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya seperti Blora, Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi, Ponorogo, dan Trenggalek. PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia.” Setelah menguasai Madiun para pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran. Pejabat-pejabat pemerintah, para perwira TNI dan polisi, pemimpin-pemimpin partai, para ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang menjadi korban keganasan PKI.

Pemberontakan PKI di Madiun ini bertujuan meruntuhkan pemerintah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang akan diganti dengan pemerintahan yang berdasar paham komunis. Kekejaman PKI ketika melakukan pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 tersebut mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu pemerintah bersama rakyat segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak. Dalam usaha mengatasi keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang meliputi Semarang, Pati, dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada Kolonel Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar mengerahkan kekuatan kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak. Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit maka pimpinan operasi penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa (MBKD). Walaupun dalam operasi penumpasan PKI Madiun ini menghadapi kesulitan karena sebagian besar pasukan TNI menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda, dengan menggunakan dua brigade kesatuan cadangan umum Divisi III Siliwangi dan brigade Surachmad dari Jawa Timur serta kesatuan-kesatuan lainnya yang setia kepada negara Indonesia maka pemberontak dapat ditumpas. Pada tanggal 30 September 1948 seluruh kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Musso yang melarikan diri ke luar kota dapat dikejar dan ditembak TNI. Sedangkan Amir Syarifuddin tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, daerah Puwadadi dan dihukum mati. Akhirnya pemberontakan PKI di Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan melemahkan kekuatan pertahanan RI.
2. Peristiwa DI/TII dan Cara yang Dilakukan Oleh Pemerintah dalam Penanggulangannya
1. Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville. Usaha untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
(1)   medannya berupa daerah pegunungan-pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya,
(2)   pasukan Kartosuwiryo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat,
(3)   pasukan DI /TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik-pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan,
(4)   suasana politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha-usaha pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis” dan operasi “Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni 1962 SM. Kartosuwiryo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “Bratayudha” di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/ TII di Jawa Barat dapat dipadamkan.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang didalangi oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara” (GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan “Banteng Raiders.” Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Gerombolan DI/ TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai gubernur militer menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokohtokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat dipadamkan.
4. Pemberontakan DI / TII di Sulawesi Selatan

Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui penyaringan.
Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah melakukan operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
5. Pemberontakan DI /TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pospos kesatuan TNI. Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.
3. Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun 1959, ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan sosial politik yang menjadi-jadi. Kondisi politik menjadi panas karena antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut pengaruh atau mendominasi. Begitu pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi nasional.
Prinsip Nasakom yang diterapkan waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan sebagai partai pejuang bagi perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh karena itu PKI banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.
4. Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara Penumpasannya
Tantangan yang dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu memberi kesempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi yang memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan. Sebelum melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut.

  1. PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.
  2. PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.
  3. Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.
Puncak ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1 Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.


Dalam peristiwa tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga tewas dalam peristiwa tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono. Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat menjadi bingung.
Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat. Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo, panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.
(1)   Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00. Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan. Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.
(2)   Menjelang sore hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil menguasai beberapa tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan Gerakan 30 September.
(3)   Dalam operasi pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para perwira Angkatan Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan revolusi.
Ketika gerakan 30 September ini menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit segera melarikan diri. Dengan demikian masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap negara ini.
a. Pemebrontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( APRA )
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada dasarnya merupakan ikhtiar Belanda untuk tetap mempertahankan kedudukan sebagai penjajah di Indonesia. Pemimpin APRA adalah seorang kapten Belanda yang dulu diterjunkan tentara sekutu di Medan pada tahun 1945, yaitu Westerling. Para anggotanya adalah KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) yaitu tentara Belanda yang berasal dari orang-orang pribumi dan KL (Koninklijk Leger).
Bekas anggota KNIL dan KL banyak yang menjadi anggota gerombolan APRA karena mereka enggan untuk bergabung dalam APRIS. Mereka beranggapan, apabila digabungkan dalam APRIS, mereka akan menjadi tentara nomer dua atau “ dianak tirikan” oleh pemerintah RIS.
Dengan memanfaatkan situasi ini, Kapten Westerling membentuk sebuah gerombolan yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tujuan utama gerakan APRA adalah mempertahankan bentuk federal di Indonesia serta mempertahankan adanya tentara tersendiri di dalam Negara federal (Negara bagian itu).
Aksi pertama yang dijalankan APRA adalah menyerbu kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950 dan menduduki Markas Staf Kwartir Divisi Siliwangi. Karena serangan yang begitu tiba-tiba ini , pasukan TNI Siliwangi kelabakan. Salah satu perwira TNI Siliwangi, Letnan Kolonel Lembong gugur dalam pertempuran ini.
Untuk membebaskan kota Bandung, Markas besar APRI di Jakarta segera mengirimkan bantuannya. Di samping itu , dilakukan perundingan antara Perdana Menteri RIS Moh.Hatta dan para komisaris tinggi Belanda untuk menghentikan aksi APRA tersebut. Mayor Jendral Engels mendesak Westerling untuik meninggalkan kota Bandung.
Setelah aksinya di Bandung cukup berhasil, pasukan APRA merencanakan menyerang kota Jakarta dan membunuh menteri-menteri RIS, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Ali Budiarjo dan Kolonel TB. Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950. APRA berkerjasama dengan seorang menteri yang bernama Sultan Hamid II.
Hal itu ternyata sudah diketahui terlebih dahulu oleh pasukan TNI yang berada di Jakarta. Karena kesiapan para pasukan TNI tersebut maka banyak anggota APRA yang terbunuh dan melarikan diri.
Mengetahui hal tersebut, Westerling pun segera melarikan diri ke Singapura dengan menumpnag pesawat Catalina milik angkatan laut Belanda. Namun, sesampainya di Singapura Westerling di tangkap oleh polisi Singapura dengan alas an masuk ke Negara orang lain tanpa izin. Pemerintah RIS meminta pemerintah Inggris yang berkuasa di Singapura untuk menyerahkan Westerling pada RIS, tetapi pemerintah Inggris menolak karena sebelumnya Indonesia belum melakukan perjanjian ekstradisi dengan Inggris. Demikian pula dengan Sultan Hamid II, pada tanggal 5 April 1950 ia ditangkap oleh TNI. Dengan itu gerakn APRA pun berakhir.
2.      Pemberontakan Andi Aziz
Di Makasar terjadi masalah seperti di Bandung, bekas KNIL menolak pasukan APRIS dan menghalangi datangnya TNI ke Makassar yang dipimpin oleh Kapten Andi Aziz yang merupakan perwira KNIL yang baru diterima ke dalam APRIS. Pada atanggal 30 Maret ia bersama dengan pasukan KNIl yang lain menggabungkan diri ke dalam APRIS dihadapan Letkol A.J Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Pada waktu itu keadaan Makasar tidak tenang karena rakyat yg anti federal mengadakan demonstrasi sebagai desakan agar NIT secepatnya bergabung dengan RI. Sedangkan sebagian dari mereka setuju dengan system federal juga mengadakan demonstrasi, sehingga ketegangan mulai bertambah.
Pada tanggal 5 April 1950 terdengar berita bahwa pemerintah RIS mengirimkan 900 pasukan APRIS dari TNI ke Makasar untuk menjaga keamanan. Kesatuan ini dipimpin oleh Mayor Worang diangkut dengan 2 buah kapal dan sudah berlabuh di luar pelabuhan Makasar. Berita ini mengkhawatirkan bekas anggota KNIL yang takut terdesak oleh pasukan baru, mereka menamakan dir pasukan Bebas dan dipimpin oleh Andi Aziz. Pada jam 5 pagi Andi Aziz dan pasukannya menyerang markas TNI di Makasar. Dalam waktu singkat kota Makasar berhasil dikuasai oleh gerombolan penyerbu karena kurangnya asukan dari TNI. Beberapa orang TNI ditawan dan Kolonel A.J Mokoginta ditawan.
Pada tanggal 5 April Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapari mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz. Pemerintah kemudian dipegang oleh kabinet baru yang pro RI dibawah pimpinan Mr. Putuhena dan pada tanggal 21 April, Sukawati wakil dari negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia melebur ke dalam negara kesatuan RI bila RI juga melaksanakan tindakan yang sama. Selain itu pemerintah RIS mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April yang menginstruksikan agar Andi Aziz dalam waktu 4x24 jam atang melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menyerahkan senjata-senjata dan juga tawanannya.
Andi Aziz terlambat melaporkan diri ke Jakarta dan karenanya ditangkap sebagai penberontak dan diadili.
Pada waktu yang bersamaan dikirimkan sebuah pasukan ekspedisi ke Sulawesi dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang. Pasukan Worang kemudian mulai bergerak ke arah Makasar dan pada tanggal 21 April berhasil memasuki Makasar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak. Andi Aziz sendiri pada tanggal 15 April telah beangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden NIT Sukowati.
Pada tanggal 26 April pasukan ekspedisi di bawah Kolonel Kawilarang sampai di Sulawesi Selatan. Bentrokan senjata masih terjadi dan pada tanggal 8 Agustus pihak KL-KNIL minta berunding dan perundingan diadakan antara Jendral Scheffelar dari KL-KNIL dengan Kolonel Kawilarang. Hasil dari perundingan ini adalah bahwa kedua belah pihak setuju dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL akan meninggalkan Makasar.




c. Republik Maluku Selatan (RMS)

Di Maluku banyak anggota KNIL. Mereka juga tidak mau dimasukkan ke dalam APRIS. Keresahan KNIL itu dipergunakan oleh tokoh- tokoh pro Belanda, seperti Manusama. Ia mengemukakan gagasan supaya Maluku terpisah dari RIS dan menjadi Negara Merdeka, yang diberi nama Republik Maluku Selatan. Pada bulan April 1950 diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Mr.Dr. Christian Robert Steven Saumokil bekas Jaksa Agung NIT dipilih menjadi presiden RMS. Saumokil sebenarnya sudah terlibat dalam peristiwa Andi Aziz di Makassar, tetapi karena Andi Aziz mengalami kegagalan maka Saumokil mengalihkan usahanya ke Maluku Selatan.
Pada waktu keadaan di Ambon sedang kacau karena banyak anggota KNIL yang bergabung dengan TNI, hal tersebut tidak disukai oleh Belanda karena RI akan menjadi lebih kuat. Untuk mencegah hal tersebut maka Belanda mulai menghasut dan menyebarkan desas- desus yang buruk tentang TNI dan RI. Keadaan ini sangat menguntungkan Saumokil dan pada tanggal 25 April 1950 dia memproklamasikan berdirinya “Republik Maluku Selatan”.
Pemerintah RIS berusaha mengatasi masalah tersebut dengan cara damai yaitu dengan mengirimkan dr. Leimena. Tetapi missi damai tersebut ditolak oleh Saumokil bahkan mereka meminta bantuan, perhatian dan pengakuan dari luar terutama dari Amerika Serikat, Belanda dan juga Dewan PBB. Karena itu maka pemerintah RIS terpaksa menumpas petualangan Saumokil dengan kekuatan senjata.
Pada tanggal 14 Juli pasukan ekspedisi APRIS dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang mendarat dan dapat merebut pos-pos penting di pulau Buru. Pendaratan dilakukan di pulau Seram Barat pada tanggal 19 Juli 1950 dan dengan mudah Seram Barat dapat dikuasai oleh APRIS/TNI. RMS berupaya memusatkan kekuatan dan kekuasaannya di pulau Seram dan Ambon.
Operasi pasukan APRIS/TNI mengalamikesulitan sehingga pada bulan Desember 1950 Seram dan Ambon dapat dikuasai. Dan ketika RIS pada tanggal 17 Agustus 1950 dilebur dan menjadi Negara kesatuan RI, RMS belum bisa ditumpas seluruhnya. Salah satu tokoh dari TNI yaitu Letnan Kolonel Slamet Riyadigugur dalam pertempuran sewaktu menyrang benteng Victoria di Ambon. Operasi APRIS dilakukan dari pulau ke pulau dan menghancurkan pasukan RMS. Serdadu-serdadu RMS melarikan diri ke hutan – hutan dan pada bulan Desember 1963 Maluku dapat diamankan kembali setelah Dr. Saumokil tertangkap.

d. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)

Gerakan ini muncul di tengah keadaan politik yang sedang tidak stabil dalam pemerintahan. Hubungan yang tidak mesra antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah menjadi salah satu pemicu timbulnya gerakan ini. Keadaan itu disebabkan oleh ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Dan rasa tidak puas tersebut didukung oleh beberapa panglima besar TNI. Beberapa panglima militer membantu dewan-dewan daerah seperti :
1.      Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dibentuk oleh Letkol Ahmad Husein, 20 Desember 1956
2.      Dewan Gajah di Medan yang dibentuk oleh Kolonel Simbolon, 22 Desember 1956
3.      Dewan Garuda di Sumatra Selatan
4.      Dewan Manguni di Manado yang dibentuk oleh Letkol Ventje Sumual, 18 Februari 1957
Dan gerakan tersebut akhirnya berkembang menjadi suatu gerakan terbuka yang terkenal sebagai gerakan PRRI/Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat yang menyatakan bahwa kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5x24 jam. Menerima ultimatum tersebut pemerintah bertindak tegas dengan memberhentikan secara tidak hormat Ahmad Huesin, Mauludin Simbolon, Zulkifli Lubis dan Dahlan Djambak dari kedudukannya sebagai perwira TNI.
Pada tanggal 12 Februari 1958 A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Komando Daerah Militer Sumatra Tengah. Dan pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya PRRI di Padang dan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana mentrinya. Pemerintah melancarkan operasi militer gabungan yang dinamakan Operasi 17 Agustus, operasi ini bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan negara, menghancurkan gerakan separatis, mencegah meluasnya gerakan tersebut dan untuk mencegah ikut campurnya kekuatan- kekuatan asing.
Angkatan Perang Republik Indonesia(APRI) pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk melindungi dan mengamankan sumber-sumber minyak yang ada. Dan operasi ini dikembangkan ke pusat pemberontak di Bukittinggi. Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 mendapat sambutan dari Indonesia Timur. Dalam rapat raksasa yang digelar di beberapa tempat di daerah Komanado Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D.J. Somba mengeluarkan pernyataan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958 daerah tersebut memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat serta mendukung PRRI.
Untuk menghadapi kekuatan Permesta, pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan April 1958. Ternyata gerakan Permestamendapat bantuan dari pihak asing. Terbukti dengan tertembak jatuhnya pesawat asing yang dikemudikan oleh A.L Pope seorang warga negara Amerika Serikat pada tanggal 18 Mei 1958 di Ambon. Dan gerakan Permesta baru dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958 dan sisa-siasanya dapta dittumpas secara keseluruhan tahun 1961.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGENDA WEEWINI (Cerita Rakyat Sumba Barat Daya)

ARTI LAMBANG SUMBA BARAT DAYA